CERPEN: REMUKNYA BULA DIPERTENGAHAN TAHUN


REMUKNYA BULAN DIPERTENGAHAN TAHUN


oleh: Febrianiko Satria
            Bibir-bibir itu bertengkar satu sama lainnya. Bibir-bibir itu saling serang, saling sikut dan saling menyalahkan tentang nasib nenek yang sedang terlunta-lunta. Bibir pertama mengatakan kalau seharusnya nenek itu tidak perlu membuka tutup saji kepada bibir yang kelaparan  di bulan sejuta do’a. Bibir yang lain mengatakan ini semua demi alasan kemanusiaan. Bibir pertama tidak terima lalu meludah ke bibir kedua. Bibir kedua menjadi berang karena merasa terhina. Bibir kedua lalu memuntahkan isi perutnya ke bibir pertama. Ludah dan muntah berterbangan mengotori nafas cakrawala.
***
            Surya belum menampakkan diri di atap bumi. Sepi dan dingin masih menyelimuti bumi. Hanya imbauan dari toa masjid yang masih terdengar membangunkan manusia yang terlelap dari tidurnya, agar bisa menikmati sahur. Murtinem, wanita tua berbadan bongsor itu sudah sahur langsung bersiap-siap di warung makannya. Murtinem menata berbagai sayur, daging dan bumbu-bumbu yang baru saja dibelinya dari pasar. Anaknya, Yuyun baru saja selesai salat subuh. Yuyun melepas mukena yang dikenakannya lalu menata rambutnya yang masih berantakan. Setelah merapikan sejadahnya, Yuyun lalu membantu Maknya bersiap-siap di warung.
            Yuyun yang sedang menata sayur bertanya kepada Murtinem “Mak, Apa boleh buka warung pas bulan puasa ini?”
“Bolehlah siapa bilang tidak boleh. Kalau Mamak tidak jualan. Bagaimana caranya Mamak ngasih kau makan? Terus darimana kita bisa lebaran kalau kita tidak jualan?” jawab Murtinem.
            “Tapi, Mak. Yuyun ada nonton berita katanya tidak boleh buka warung pas puasa, Mak,” balas Yuyun.
“Itu bohong aja. Tahun kemarin kan warung Mamak tetap buka tapi tidak kena razia juga,” jawab Murtinem.
“Tapi Mak.”
“Sudah jangan tapi-tapian lagi. Toh tidak semua orang disini itu puasa. Mereka kan juga mau makan,”
Mentari perlahan-lahan mulai meninggi, ayam yang tertidur lelap segera bangun dan menyanyikan kokok merdunya pagi itu.
***
          Warung Murtinem letaknya tidak di depan rumahnya. Warung itu terletak tidak terlalu jauh dari keramaian. Pintu warung yang sederhana itu ditutup oleh kain. Alasan Murtinem menutupnya dengan kain agar dia tidak dimarahi oleh tetangga sekitarnya karena masih juga membuka warung.
          Bayu, pria yang masih muda, memakai kemeja putih dan celana hitam masuk ke warung Murtinem. Dia terlihat lesu dan berkeringat. “Bude, nasi campurnya satu serta es teh.” Katanya
“Kamu tidak puasa, Yu?” tanya Murtinem.
“Tadi pagi sahur Bude,” jawab Bayu. Bayu lalu duduk di kursi dan menaruh tasnya.
Murtinem yang sedang menyiapkan nasi campur menjadi tertawa“Itu namanya puasa yangyuk puasa gak jelas,”
“Ah biarlah Bude. Yang penting orang rumah tidak lihat kita makan,” kata Bayu.
        Murtinem lalu menaruh nasi campur dan es teh ke meja Bayu. Bayu lalu segera memakannya. Baru beberapa suap nasi Bayu iseng bertanya pada Murtinem “Eh Bude. Mau nanya Bude boleh gak?”
“Mau nanya apa, Nak?” balas Murtinem.
“Diantara orang satu RT kita ini siapa aja yang sering makan di sini kalau lagi bulan puasa ini?” tanya Bayu.
Murtinem lalu pergi ke meja Bayu “Ada beberapa orang. Tapi kamu diam-diam aja ya. Pertama itu Pak Camat, Pak Ibon dan Pak Reza sering makan di sini.”
“Hah pak camat sering makan ke sini? Padahal dia yang nuruh warung ditutup ketika puasa ini,” kata Bayu. Bayu lalu meminum es teh.
“Pejabat tu kebanyakan cuma jago ngomong aja,” timpal Murtinem.
“Kalau Pak Bambang sering tidak makan di sini?” tanya Bayu lagi.
“Kalau pak Bambang sesekali makan ke sini. Hari ini datang lalu dua atau tiga hari kemudian baru makan di sini,” jelas Murtinem.
        Bayu yang mendengar penuturan Murtinem menjadi kaget. “Padahal dia keliatan seperti orang yang alim. Eh gak taunya sama aja dengan yang lain,” kata Bayu kesal.
Bayu lalu melanjutkan percakapan lainnya dengan Murtinem. Mereka membicarakan apa saja. Setelah nasi di piring Bayu habis dia duduk dulu sebentar lalu memesan es teh manis lagi. Seteah dirasa nasi diperutnya sudah turun, Bayu lalu membayar nasinya lalu pergi dari warung Murtinem.
***
            Semakin lama warung Murtinem semakin rame diisi pelanggan yang tidak puasa. Hal ini menimbulkan gosip di kalagan tetangganya. Hal ini wajar saja karena mereka sendri takut kalau suami atau anak mereka di rumah mengak puasa sedngkan di rumah mereka mengaku puasa.
            Mak Yen, Wak Iin dan Mak Bimo sedang berkumpul di terasnya Mak Bimo. Walaupun puasa mereka tidak bisa behenti menggosip tentang tetangga.
            “Kacau tu si Mur. Masa bulan puasa masih buka warung juga,” gerutu Wak Iin mengawali gosip kali ini.
            “Iya. Masa pagi-pagi sudah buka warung. Apa salahnya buka warungnya sore aja. Nampak nian dianya nyari untung besar,” gerutu Mak Bimo.
            “Itulah. Nanti suami kita malah makan disana. Di rumah kelihatan puasa. Eh tidak aunya di luar malah buka puasa,” gerutu Mak Yen.
            “Takutnya anak-anak kita yang masih kecil ini liat orang makan dia ikutan pula makan,” gerutu Wak Iin.
            Mak Yen lalu berdiri dengan gayanya yang seolah-olah dibuat marah. Kakinya yang bekas patah itu membuat berdirinya menjadi tidak stabil “Sekali-kali kita grebek aja warungnya biar dia berhenti jualan siang-siang,” kata Mak Yen.
            “Iya aku setuju tuh. Sekali-kali harus kita grebek itu warung,” kata Wak Iin menyetujui.
            Bapak Bimo yang sedang tertidur di ruang tamu jadi terbangun karena ribut gosip Ibu-ibu. Bapak Bimo lalu pergi ke teras rumah dan melerai mereka. “Ada apa ini Ibu-ibu. Siang-sing udah gosip aja. Gak sadar apa sekarang masih bulan puasa,”
            “Namanya juga Mak-mak. Sehari-hari kerjanya ya gosip itulah,” kata Wak Iin membela.
            “Bulan puasa itu ditahan jugalah mulutnya jangan gosip aja kerjanya,” kata Bapak Bimo.
            Mak Yen, wak Iin dan Mak Bimo tidak perduli dengan perkataan Bapak Bimo. Mereka tetap melanjutkan gosip. Setelah puas, Ibu-ibu itu pulang ke rumah mereka masing-masing.
***
            Tidak terasa hari sudah menunjukkan pertengahan Ramadhan. Pengunjung warung Murtinem semakin banyak ada anak muda da ada orang tua, ada laki-laki dan ada perempuan. Terkadang ada yang membawa satu keluarga makan di warung Murtinem. Hal ini terus berlangsung setiap harinya. Tak heran Murtinem terus mendapatka untung yang lebih banyak daripada biasanya.
            Bumi diliputi dengan wajah-wajah yang lemas, sementara bibirnya penuh dengan berbagai keluh mengeluh. Hari kian menyepi karena bibir-bibir pengeluh ingin beristirahat dengan tenang di rumahnya. Hari yang menyepi itu lalu terusik oleh kumpulan pria berpakaian kemeja hijau, sepatu bot hitam yang keras serta topi berarna hijau. Sat Pol PP melakukan razia terhadap berbagai warung dan rumah makan yang tidak patuh dengan larangan berjualan ketika bulan Ramadhan. Pol PP menggeledah warung Murtinem. Terjadi cek cok diantara Pol PP dan keluarga Murtinem. Murtinem berusaha menghadang Pol PP untuk masuk kedalam warung dan menggeledah warung. Pol PP lalu menerobos masuk dan mulai mengangkut berbagai barang yang ada dalam warung. Pol PP juga mengambil berbagai makanan yang dijual. Murtinem tidak bisa berbuat banyak. Murtinem hanya menangis menatap Sat Pol PP mengambil semua makanannya. Selesai melakukan razia di warung Murtinem, Sat Pol PP lalu pergi melanjutkan razia di warung lainnya.
***
            Setelah kejadian razia di setiap warung pada bulan Ramadhan, bumi dipenuhi oleh perbincangan-perbincangan tanpa berhenti. Bibir-bibir saling menyatakan pendapat mengenai kejadian itu. Bibir kelompok pertama mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebuah kebenaran. Bibir kelompok kedua mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebuah kesalahan besar. Kedua kelompok bibir saling adu argumen satu sama lain. Bibir kedua yang tidak terima lalu membuka kantong sumbangan untuk Murtinem. Sumbangan dari berbagai tangan perlahan-lahan terkumpul ke kantong sumbangan. Sumbangan yang awalnya sebiji perlahan-lahan menggunung tinggi. Bibir pertama protes terhadap tindakan bibir kedua yang terlalu berlebihan. Bibir kedua lalu membela dan mengatakan bahwa itu adalah hal yang benar. Kedua bibir saling berdebat satu sama yang lain. Bibir pertama meludah kepada bibir kedua. Bibir kedua tidak terima. Bibir kedua lalu muntah ke bibir pertama. Ludah dan muntah berterbangan mengotori nafas cakrawala.
            Murtinem menatap saling sikut diantara kedua bibir dengan sangat sedih. Matanya berkaca-kaca menatap perkelahian diantara mereka berdua. Dalam lubuk hatinya merasakan penyesalan terhadap tindakan yang telah dilakukan.
            Yuyun  mengusap air mata Maknya dan berusaha menenangkan Murtinem yang sedang sedih. “Udahlah Mak. Ini semua sudah terjadi, Mak.”
            Udara terasa sangat panas. Langit cerah perlahan-lahan ditutupi awan hitam. Dari langit yang semakin menghitam meneteslah air ke bumi. Bumi yang kering lalu basah oleh tangisan awan. Tanah menjadi larut dalam tangisan awan. Air menggenang dimana-mana. Air perlahan merembes masuk ke warung Murtinem lalu membasahi lantai. Di atas kursi tampak perwakilan salah satu bibir membawa uang hasil sumbangan sambil menikmati nasi dari warung Murtinem.
Jambi, 30 Juni 2016

*Febrianiko Satria. Masih berstatus Mahasiswa di UNJA, FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini aktif sebagai Ketua Komunitas Berani Menulis (KOMBES). Kumpulan karyanya dimuat dalam beberapa antologi diantaranya: Rumah Cinta ( 2015), Buntung (2016), Siginjai Kata-Kata ( 2016), Senandung Dua Warna (2016) dan Kicau [H]ayat ( 2016).

Pertama kali dipublikasikan di IMC CAMPUS: https://campus.imcnews.id/read/remuknya-bulan-di-pertengahan-tahun tanggal 23 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS4: Mencontek Di Sekolah (drama)

Naskah drama: Kasih Ibu

Cerpen: Mengejar Cinta Seorang Cowok