Cerpen Kabut Mimpi

KABUT MIMPI
oleh: Febrianiko Satria 


   Aku mencoba membuka mataku perlahan-lahan. Kulihat aku berada di sebuah ruangan entah dimana. Aku menguap, kucoba untuk mulai duduk. Entah berapa lama aku tertidur dalam ruangan ini. Di sebelahku, ada enam orang pria yang juga tertidur. Aku benar-benar tidak ingat kenapa sampai aku tertidur disini. Kucoba membangunkan lelaki kurus di sampingku.
 
            “Hoy bangun sudah pagi ini,” kataku.

            Sayangnya lelaki kurus itu tak juga kunjung bangun dari tidur lelapnya. Aku tak patah semangat. Aku lalu iseng mencabuti salah satu helai rambutnya yang keriting.Tiba-tiba dia mengigau sendiri lalu berteriak seperti berorasi ,“Walaupun kau hancurkan mataku. Kata-kataku tetap abadi!”

            Aku lalu tertawa dengan ucapannya. Bahkan dalam mimpinya, dia masih ingin meruntuhkan presiden yang dibencinya. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Dia masih terus mengigau membacakan puisi.

            “Aku adalah kutukan! Aku selalu siap memburumu sepanjang waktu!”
            Aku lalu berteriak, “Penyair bangun! Ini sudah pagi! Daritadi mengigau saja!”
            Lelaki itu lalu mengucek-ngucek matanya. Dia mencoba duduk ,”Sialan! Kukira ada tentara didepanku.”
            “Benci itu boleh. Tapi gak harus sampai terbawa ke dalam mimpi juga,” kelakarku.

            Disebelah kami masih ada lima pria yang  masih tertidur lelap. Ada pria gemuk berstelan jas, ada juga lelaki seumuranku dengan stelan kemeja, sedangkan sisanya adalah orang-orang yang terlihat jauh lebih muda dariku. Mereka semua tampak bingung seperti kami. Kenapa kami semua berkumpul disini.

            “Siapa kamu?” tanya ku.
            “Aku seorang supir. Seingatku aku membawa seorang putri mantan presiden kita ke salah satu kantor. Ketika aku pulang aku baru sadar aku sudah disini.” Jelas Supir.
            “Bagaimana denganmu anak muda?” tanyaku lagi

            Tiga lelaki muda itu saling bersitatap satu sama yang lain. Mereka tampak seperti takut berbicara. Aku lalu memaksa yang tubuhnya paling tinggi untuk berbicara kepada kami, “Kami adalah pemuda dari salah satu universitas di Indonesia. Seingat saya terakhir kami bertigamelakukan demo untuk menggulingkan pemerintahan kita tapi entah kenapa kami ada disini,” jelas pemuda itu.

            “Yang lainnya kalian siapa?” tanyaku kembali.
            “Aku adalah seorang pengusaha. Aku mengorbankan harta bendaku demi tercapainya reformasi di negera yang kita cintai ini.” ujar lelaki berjas.
            “Sekarang siapa kalian berdua?” tanya Supir.
            “Aku adalah seorang seniman, sebelahku ini adalah penyair,” jelasku.

            Penyair lalu berkeliling ruangan. Kulihat dia menggaruk-garukkan gambutnya yang keriting. “Ada yang aneh disini. Pasti ada penyebab kita dikumpulkan dalam ruangan ini.”
            Salah satu pemuda itu kulihat berdiri dan berbicara, “Izinkan saya berbicara. Kalau dilihat dari latar belakang kita. Pasti ini karena penyebab yang sama.”
            “Kita adalah pemberontak,” jawabku.
            “Kita buronan,” jawab Kontraktor.
            “Tapi saya cuma supir biasa. Sumpah!” teriak Supir itu.
            Penyair lalu berjalan menuju Supir, “Tapi kau membantu mengantarkan salah satu tokoh politik yang akan memberontak,”
            “Teganya dunia ini kepadaku,” keluh Supir.
            Kontraktor mencoba melerai,” Sudahlah, sebaiknya kita berpikir dimanakah kita sekarang ini?”
            “Ya benar. Aku tidak tahu dimana kita sekarang berada,” kataku.
            “Mungkin sekarang kita ada dalam sebuah penjara,” celetuk salah satu pemuda.
            “Tidak ini tak tampak seperti penjara sama sekali. Lihat ada meja dan kursi itu. Pasti kita ada diluar negeri,” sebut Penyair.
            “Oh tidak. Ini tak bagus. Apa yang akan terjadi pada anak istriku di rumah?” keluh Supir.
            “Lupakan saja anak istrimu. Sudah berapa lama memangnya kita tertidur di ruangan ini?” Kontraktor itu mengingatkan.
            “Pasti lama sekali,” jawab Supir.
            “Bagaimanapun caranya kita harus keluar dari ruangan ini! Kita harus mencari pintu, jendela atau semacamnya yang bisa kita temukan untuk keluar dari ruangan ini,” kata Penyair.
            “Coba kau lihat sekeliling. Tak ada jendela ataupun pintu diruangan ini,” jawab salah satu pemuda.
            “Coba kita raba masing-masing dinding. Siapa tahu dinding ini hanyalah tempelan kertas yang menutupi jalan keluar,” usul kontraktor.

            Kami lalu meraba setiap sisi dinding. Setiap kali kusentuh dinding ini tetap dingin dan keras. Mustahil ini adalah kertas. Kulihat yang lain juga begitu. Sama saja tak ada bedanya. Akhirnya kami kelelahan dan duduk diatas meja.

            “Tak ada apapun disini,” keluhku.
            “Tidak kau salah masih ada lemari disana. Coba kita masuk kesana,” kata penyair.
            “Kau terlalu banyak berkhayal. Sejak kapan lemari bisa menjadi jalan keluar kita,” keluh Kontraktor.
            “Tapi tak ada salahnya kita coba,” kata salah satu pemuda.

            Kami lalu mencoba membuka lemari itu. Kulihat ada kemeja dan jas yang digantung disana. Aku menggeser tumpukan kemeja itu. Kami lalu masuk kedalam lemari. Aneh lemari ini seperti panjang tak memiliki ujung. Kami terus berjalan hingga tiba-tiba di hadapan kami adalah sebuah jalan yang terasa aneh. Aku merasa seperti seolah-olah berada dalam film yang entah apa judulnya.

            “Akhirnya bisa keluar juga. Aku akan mencari istri dan anakku,” kata Supir.
            “Jangan dulu. Sebaiknya kita pergi bersama menyusuri daerah ini. Aku merasa ada yang aneh dengan wilayah ini,” kataku.
            Kami lalu berkeliling namun anehnya suasana sekitarku sudah tampak berbeda jauh dari apa yang kuingat terakhir kali. Semuanya tampak tak kukenali.
            “Sepertinya kau benar. Kita sepertinya berada di luar negeri.” Kata Supir.

            Kontraktor menjawab, "Tidak mungkin ini diluar negeri. Lihat tulisan disana," Kontraktor itu menunjuk sebuah papan iklan, "Lihat mereka masih menggunakan bahasa yang sama dengan yang biasa kita gunakan.”

            Kami lalu berjalan mengikuti langkah kaki kami. Tiba-tiba saja aku melihat sebuah papan iklan bergambar si penyair. Aku heran dan bertanya-tanya dalam hati. Setelah itu aku biarkan saja. Kami terus melanjutkan perjalanan. Di setiap perjalanan kami menemukan gambar penyair dimana-mana.

            “Penyair. Lihatlah gambarmu ada dimana-mana,” kataku
            “Lihat mereka menggunakan fotoku untuk sebuah film!” teriak Penyair.
            “Ayo kita coba masuk ke Bioskop itu.

            Kami bertujuh diam-diam masuk ke dalam bioskop itu. Seperti pencuri, kami mengendap-endap masuk ke dalam studio. Ruangan begitu gelap dan kulihat dilayar ada seseorang meniru tingkah laku penyair dalam sebuah film. Kami menjadi semakin keheranan dengan segala yang terjadi.

            Tiba-tiba lampu hidup. Ternyata film sudah selesai. Kulihat setiap penonton membubarkan diri. Tiba-tiba salah satu diantara mereka berteriak, “Lihat itu penyair yang hilang!” Penonton yang lain juga ikut berteriak ,”Kau benar. Itu penyair yang hilang!” “Itu penyair yang kita tunggu!”

            Kami semakin keheranan dengan mereka. Kami perlahan-lahan mundur hendak keluar dari studio. Kulihat salah seorang penonton kelihatan marah,”Kalian adalah orang yang berhasil menjatuhkan presiden favoritku. Lihatlah kondisi negara ini karena perbuatan kalian! Sekarang akan kuhabisi kalian semua!” Penonton itu lalu mengeluarkan pistol dan menembak membabi buta kearah kami.
***
            Aku tiba-tiba terbangun. Seketika aku seperti teraring diatas meja. Aku mengucek-ngucek mataku. Kulihat ada beberapa tumpukan kertas di mejaku. Tertulis disana“Daftar Korban Penculikan Masa Orde Baru.” Ku baca satu persatu lembaran kertas itu. Disana ada nama dan foto Penyair, Supir, Kontraktor dan Mahasiswa. Aku semakin terheran-heran kenapa mereka sama dengan orang yang hadir dalam mimpiku.
            Seorang wanita tua datang menuju arahku dia lalu duduk di depanku lalu berkata dengan santai, “Saya lihat Bapak tadi tertidur lelap. Jadi Apakah Bapak bisa membantu saya menemukan suami saya yang hilang: Sang Penyair!”
Jambi, 06 Maret 2017
Catatan:
Cerpen ini terinspirasi dari puisi dan biografi Wiji Thukul. Didedikasikan untuk para korban tragedi 1998.

Pertama kali diterbitkan di IMC Campus  https://campus.imcnews.id/read/kabut-mimpi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS4: Mencontek Di Sekolah (drama)

Naskah drama: Kasih Ibu

Cerpen: Mengejar Cinta Seorang Cowok