MENUJU TANAH YANG DIJANJIKAN


Karya: Febrianiko Satria
Sumber gambar: https://pixabay.com/images/id-1366926/

Aku tidak tahu alasan apa yang membuat dia teguh untuk memperjuangkan hal ini. Entah karena dia ingin bebas dari berbagai penderitaan di tanah kelahiran kami ataupun justru karena dia hanya ingin bertualang untuk mencari tanah baru, gedung-gedung baru ataupun pelabuhan yang baru. 

Jika hanya itu yang ingin dilakukannya kenapa dia harus mengajak banyak orang hingga memenuhi 2 kapal pelarian kami ini. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang dia inginkan. Hal yang kuketahui dia adalah orang yang harus kutemani mungkin karena alasan kasihan melihat dia sendiri memperjuangkan hal ini.


Sejak dia menemuiku hari itu. Dia tampak berbeda dari biasanya. Dia biasanya hanya melamun berjalan tidak tentu arah kemana-mana. Hal ini kumaklumi saja. Dia adalah seorang pejabat yang suka berkelana kemana-mana. Dia bilang kepadaku, bahwa dia suka menikmati keindahan bulan diberbagai tempat ataupun melihat berbagai senyum indah wanita dari berbagai daerah yang sempat dia singgahi waktu itu. 

Namun hari itu dia tampak berbeda jauh dari biasanya. 

“Aku baru saja mendapat pencerahan. Kita tidak bisa menghentikan konflik panjang disini?”

“Apa kau sudah putus asa?” tanyaku.

“Ya. Aku sudah sangat putus asa. Kau tahu negara adidaya itu tidak akan berhenti ikut mengurus urusan negeri kita ini. Dia masih bernafsu ingin menguasai minyak bumi yang Tuhan berikan kepada kita,” jelasnya panjang lebar.

“Lantas kau ingin mereka diapakan?” tanyaku.

“Aku ingin kita semua pergi dari sini menuju negeri baru. Aku ingin kita memulai kehidupan yang baru yang lebih baik di tanah yang lain,” ungkapnya.

“Bagaimana caranya?” tanyaku.

“Dunia sudah tahu  tentang permasalahan di negeri kita. Aku tinggal menghubungi konsulat dan pejabat negeri lain untuk menampung kita,” jelasnya dengan berbinar-binar.

Sejak saat itu aku selalu mengikuti langkah-langkahnya. Aku mengikuti setiap dia bersosialisasi kepada penduduk untuk pindah ke negeri lainnya. 

Ada beberapa orang yang ingin ikut serta dalam perjalanan kami namun tak sedikit juga yang mencibir kami. Mereka bilang bahwa seharusnya kami sebagai pejabat berusaha menghentikan invasi yang terus terjadi di negara ini. Sebenarnya kami sudah berulang kali mengusahakan hal ini kepada pemerintah pusat. Sayangnya kami hanyalah pejabat daerah biasa. Suara-suara kami tenggelam diantara perdebatan kepentingan setiap partai politik di istana negara.

Jadi, kami hanya bisa mengusahakan siapa saja yang mau mengikuti langkah kami.  Ada sekitar dua ratus orang yang terdaftar untuk ikut serta memulai kehidupan di negeri yang baru. Dia tampak begitu cemas dengan mereka yang bertahan untuk menetap di tempat yang penuh konflik ini. Aku mencoba menyabarkannya dan mengatakan bahwa hanya merekalah orang-orang yang terpilih yang bisa ikut kami untuk hidup di negeri orang.

Selanjutnya dia mulai sibuk menghubungi koleganya di luar negeri. Ada sekitar sepuluh negeri yang dia tuju agar mau menampung kami. Namun, tak ada satupun yang mau menerima kami. Berbagai macam alasan yang mereka berikan. Mulai dari mereka tidak mau ikut campur dengan urusan negeri lain hingga mereka tidak sudi menerima imigran pengungsi negeri perang seperti kami. 

Dia mulai tampak berputus asa dengan hal ini. Aku menyemangatinya agar dia tetap kuat dan memotivasinya bahwa suatu hari nanti akan ada negeri entah dimana yang akan menerima kami.

Suatu ketika dia teringat dengan kampung halaman tanah leluhurnya jauh sekali di timur.

“Aku baru ingat di kampung leluhurku mereka memiliki banyak pulau yang bisa ditempati,” katanya.

“Apa benar tanah leluhurmu mau menerima orang-orang pelarian seperti kita ini?” tanyaku tak yakin.

“Aku yakin mereka mau. Nenekku berkata bahwa mereka adalah orang yang ramah-ramah. Sangat suka membantu apalagi untuk mereka yang seagama. Tak ada salahnya kita coba,” jelasnya.

Kami lalu mencari rekanan yang ada di negara leluhurnya. Mulai dari rekanan bisnis kami yang mungkin saja mengetahui. Hingga hanya yang pernah dengar saja melalui berita yang disiarkan di televisi. 

Setelah seminggu kami berhasil mendapatkan koneksi agar kami bisa tinggal disana. Ada seorang pejabat daerah yang bersedia menerima orang pelarian seperti kami. Walaupun tidak gratis.
Kami diharuskan membayar berbagai hal yang pejabat itu minta. Mulai dari membayar tentara pebatasan lalu dilanjutkan dengan membayar polisi laut lalu keimigrasian dan masih banyak lagi yang harus kami urus dengan uang. Semua urusan itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Dia tidak mau orang lain ikut membantu meringankan bebannya. Dia berkata bahwa itu sudah kewajibannya sebagai pengayom rakyat. Aku mengiyakan saja tanpa bisa berbuat banyak.

Kabar mengenai kami yang akan menyebrang ke negri lain tersebar kemana-mana. Setiap orang sibuk membicarakan tindakan kami. Ada yang bilang bahwa tindakan kami keliru dan ada pula yang mendukungnya. 

Hingga akhirnya hal ini terdengar oleh pejabat negeri kami. Kami lalu dipanggil diminta untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi. Terpaksa kami harus berdebat panjang mengenai hal ini.

“Sebagai Jendral Tertinggi negara ini. Aku tidak setuju dengan rencana kalian!” tukas Jendral itu.

“Kami hanya ingin rakyat ini tidak menderita lebih lama lagi di negara ini!” bentaknya.

“Negara kita sedang dalam kondisi darurat. Kita masih butuh bantuan tenaga manusia agar bisa bebas dari kondisi ini,” jelas Jendral.

“Kami tidak perduli,” tolakku.

“Jika kalian masih saja nekat melakukan rencana itu. Aku tidak akan segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan kalian!” bentaknya.

Bentakan dari Jendral itu tidak membuat kami takut. Kami malah semakin bersemangat mencari cara agar bisa keluar dari negara ini dengan aman. 

Awalnya kami mencoba dengan melakukan pelayaran diam-diam melalui pelabuhan yang sudah tidak aktif lagi. Namun sayangnya kami ketahuan pihak tentara. Tentara itu lalu menjemput paksa kami. Kami tidak bisa melawan mereka. Kami ditahan di pelabuhan beramai-ramai.

Tanpa kami duga pelarian kami yang gagal memotivasi rakyat lainnya untuk ikut pergi. Rakyat yang lain melakukan kerusuhan besar-besaran di pelabuhan agar bisa membebaskan kami. Tentara yang kalah jumlah memilih mundur. Hari itu kami benar-benar beruntung.

Namun ternyata pemerintah tidak mau menyerah. Keesokan harinya tentara datang dngan pasukan lebih banyak. Tentara itu bahkan mendatangi rumah kami. Aku menyelamatkan istri dan anakku dari kekejaman tentara. Hari itu baru kuketahui bahwa banyak diantara kami yang ditangkap tanpa akan kembali. Kami semakin putus asa atas kejadian ini. 

Tiba-tiba saja Dia memotivasi kami agar tidak menyerah. Dia menggelorakan semangat kebebasan  tanpa berhenti. Rakyat kami menjadi bersemangat. Kami lalu mensabotase dua kapal feri. 

Tidak hanya itu saja rakyat membakar rumah dan gedung-gedung yang kami tinggalkan agar tidak bisa digunakan pemerintah. Api menyala dimana-mana. Kami menyalakan kapal dan meninggalkan kota itu yang sudah terbakar hebat.
Seperti sebelumnya tentara tidak mungkin mau melepaskan kami begitu saja. Kapal feri kami dikejar oleh kapal-kapal militer yang lebih banyak dari kami. 

Ada sekitar sepuluh kapal militer yang mengejar kami. Aku dan rombongan ketakutan. Tampaknya kami akan mati di laut ini tanpa sempat menginjak tanah impian kami.

Terdengar bunyi ledakan. Aku mencari bunyi ledakan itu. Tidak lama kemudian aku lihat salah satu kapal militer meledak. Aku heran entah apa yang menyebabkan hal itu. Aku lihat lagi kapal-kapal militer yang lain juga meledak. Kapal militer mendadak berubah arah seperti menjauhi kami. Aku lalu melihat jauh ke sisi selatan yang menjadi tujuan kami tampak kapal Induk yang begitu besar lewat. Ada bendera putih terkibar disana. Saat itu juga aku melihat Dia tersenyum bahagia seolah-olah tujuan kami sebentar lagi akan tercapai.

Jambi, 03 Agustus 2017 

Publikasi pertama  berjudul Pulang pada antologi Ragam Cerita Satu Asa (SMI, 2018)

Publikasi kedua di puntungkolektif.com https://puntungkolektif.com/menuju-tanah-yang-dijanjikan/  pada 16 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS4: Mencontek Di Sekolah (drama)

Naskah drama: Kasih Ibu

Cerpen: Mengejar Cinta Seorang Cowok