Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

GELAR SASTRA KARYA MERDEKA JARI MENARI: Sudah Sejauh Mana Sastra Dekat Dengan Masyarakat Biasa

Oleh: Febrianiko Satria Suatu hari saya diceritakan oleh teman saya tentang sebuah desa yang semua penduduknya adalah seniman semua. Awalnya saya tidak percaya dengan cerita itu. Apalagi di Jambi itu pasti sesuatu yang langka. Dia lalu memintaku untuk membuat acara yang diadakan di lapangan terbuka yang dekat dengan masyarakat. Kembali aku tidak yakin karena entah bagaimana caranya. Hingga akhirnya sore kemarin (15/8/2017) saya mendapat undangan dari Komunitas Jari Menari yakni Gelar Sastra: Karya Merdeka. Lokasinya di Perumahan Citra Kenali depan Akbid Budi Mulya masih sekitaran RSJ Jambi. Itupun saya masih berpikir bahwa acara itu hanya seremonial biasa yang diisi oleh para pegiat-pegiat literasi saja sebagaimana yang sudah-sudah. Namun malam itu (16/8/2017) sungguh jauh berbeda. Dari awal pertama masuk saya sudah melihat acara itu sudah dijaga warga setempat bukan hanya anggota Komunitas Jari Menari yang saya tahu anggotanya masih mahasiswa U

Melihat Orang Tua Keras Kepala Dari Monolog Demam Teater Oranye Jambi

Oleh: Febrianiko Satria Apa saja yang anda pikirkan tentang orang orang tua? Hoby ngomel? Suka nyuruh-nyuruh? Jadul? Jika iya mungkin kita sependapat dengan itu. Apalagi setelah menonton monolog Demam dari Teater Oranye di Panggung Aktor Se Sumatera di TBJ selasa bulan lalu (15/10/2017). Rasa-rasanya semua hal yang menyangkut orang-orang tua dipaparkan begitu jelas dalam monolog itu. Alkisah, di sebuah kampung. Hiduplah laki-laki bernama Pak Ngah Ce’gu. Pak Ngah Ce’gu yang baru saja bangun dan ingin kopi langsung dibentak oleh istri mudanya. Pak Ngah Ce’gu tentu kesal sebagai kepala rumah tangga tak seharusnya dia diperlakukan demikian. Dari sana dia bercerita tentang kehidupan Dia dan rumah tangganya yang sudah tidak enak lagi dimatanya. Bahkan Pak Ngah Ce’gu mengatakan dulu ketika pacaran istri mudanya tidak bertingkah seperti itu. Ketika sudah nikah malah berbeda, semua terasa tidak enak untuk orang tua seperti Pak Ngah Ce’gu. Pada adegan selanjutn

Gila-gila Panggung

Oleh: Febrianiko Satria Dia masih saja setia pada panggung itu. Entah kenapa dia begitu menyukainya. Dia berkata bahwa itu adalah nafas hidupnya. Dia berkata lagi bahwa itu adalah awal dan akhir hidupnya. Lantai panggung itu diciumnya dengan mesra layaknya sepasang kekasih. Sepanjang waktu dijamahnya panggung itu. Tak peduli hujan panas datang. Dia tetap setia dengan panggung itu. Kau pasti bertanya apakah dia memiliki pekerjaan? Sudah tentu jawabnya Iya. Dia memiliki pekerjaan paling bermartabat di dunia ini. Namun sayangnya dia lebih gemar berada di panggung itu. Kau pasti juga bertanya. Apakah Dia memiliki keluarga yang harus Dia urus? Jawabnya Iya. Dia memiliki keluarga. Di rumahnya yang lumayan besar. Istri dan lima anaknya selalu menunggu Dia. Apakah keluarganya tak rindu? Sudah pasti rindu. Ranjang pasti terasa hampa kalau Dia tak kunjung pulang ke rumah. Buru-buru ranjang, dapurnya pun tak kunjung mengebulkan asap. Sudah sejak lama tabung gas tig