Melihat Orang Tua Keras Kepala Dari Monolog Demam Teater Oranye Jambi
Oleh: Febrianiko Satria
Apa saja yang anda pikirkan tentang orang
orang tua? Hoby ngomel? Suka nyuruh-nyuruh? Jadul? Jika iya mungkin
kita sependapat dengan itu. Apalagi setelah menonton monolog Demam dari
Teater Oranye di Panggung Aktor Se Sumatera di TBJ selasa bulan lalu
(15/10/2017). Rasa-rasanya semua hal yang menyangkut orang-orang tua
dipaparkan begitu jelas dalam monolog itu.
Alkisah, di sebuah kampung. Hiduplah
laki-laki bernama Pak Ngah Ce’gu. Pak Ngah Ce’gu yang baru saja bangun
dan ingin kopi langsung dibentak oleh istri mudanya. Pak Ngah Ce’gu
tentu kesal sebagai kepala rumah tangga tak seharusnya dia diperlakukan
demikian. Dari sana dia bercerita tentang kehidupan Dia dan rumah
tangganya yang sudah tidak enak lagi dimatanya. Bahkan Pak Ngah Ce’gu
mengatakan dulu ketika pacaran istri mudanya tidak bertingkah seperti
itu. Ketika sudah nikah malah berbeda, semua terasa tidak enak untuk
orang tua seperti Pak Ngah Ce’gu.
Pada adegan selanjutnya, Pak Ngah Ce’gu
menceritakan tentang anak-anaknya. Dia berkata bahwa anak-anaknya
terlihat aneh dan tidak sesuai dengan zamannya. Mulai dari anak muda
suka dance berbeda dengan orang tua yang suka menari tradisional. Lalu
anak muda menyukai musik heavy metal berbeda dengan orang tua yang masih
saja suka dengan dendang melayu.
Sebagai kids zaman now yang masih
bergantung dengan keuangan orang tua. Saya memandangnya seperti layaknya
orang tua yang suka memerintah di rumah. Orang tua yang selalu ingin
minta di perhatikan tanpa memperhatikan. Orang tua yang hanya ingin
dipahami tanpa memahami anak muda. Orang-orang tua itu tanpa sadar
bahwa eranya bukan sekarang lagi. Sudah waktunya mereka memahami anak
muda dengan segala hal yang baru dengan cara mencampurnya antara model
orang tua dan ala kids zaman now.
Itu baru perhatian biasa. Belum lagi
tentang budaya. Jika anak muda tidak suka dengan budaya orang tua kenapa
harus dipaksakan? Kenapa budaya yang ada harus diluhurkan. Diagungkan
tinggi-tinggi hingga jauh dari kehidupan anak muda? Kenapa tidak
digabungkan dengan budaya anak muda? Toh jika terlalu diagungkan apakah
budaya orang-orang tua itu bisa bertahan?
Pertama kali terbit di Genta FKIP pada 17 Desember 2018 https://genta.fkip.unja.ac.id/2017/12/17/melihat-orang-tua-keras-kepala-dari-monolog-demam-teater-oranye-jambi/
Komentar
Posting Komentar