Gila-gila Panggung
Oleh: Febrianiko Satria
Dia masih saja setia pada panggung itu.
Entah kenapa dia begitu menyukainya. Dia berkata bahwa itu adalah nafas
hidupnya. Dia berkata lagi bahwa itu adalah awal dan akhir hidupnya.
Lantai panggung itu diciumnya dengan mesra layaknya sepasang kekasih.
Sepanjang waktu dijamahnya panggung itu.
Tak peduli hujan panas datang. Dia tetap setia dengan panggung itu. Kau
pasti bertanya apakah dia memiliki pekerjaan? Sudah tentu jawabnya Iya.
Dia memiliki pekerjaan paling bermartabat di dunia ini. Namun sayangnya
dia lebih gemar berada di panggung itu.
Kau pasti juga bertanya. Apakah Dia
memiliki keluarga yang harus Dia urus? Jawabnya Iya. Dia memiliki
keluarga. Di rumahnya yang lumayan besar. Istri dan lima anaknya selalu
menunggu Dia. Apakah keluarganya tak rindu? Sudah pasti rindu. Ranjang
pasti terasa hampa kalau Dia tak kunjung pulang ke rumah. Buru-buru
ranjang, dapurnya pun tak kunjung mengebulkan asap. Sudah sejak lama
tabung gas tiga kilo miliknya tidak pernah diganti bahkan karatan. Kau
bertanya bagaimana perut anaknya? Perut anak-anaknya besar-besar karena
busung lapar. Lengannya sangat kering tinggal tulang.
Pernah anaknya menyeletuk, “Ayah kapan
pulang?” Istrinya hanya berkata “Sabar, Nak. Keringat Ayah begitu deras
keluar disana.” Sayangnya anak-anak tidak mengerti tentang keringat.
Mereka lebih perduli dengan usus-usus mereka yang selalu bersoneta
sepanjang waktu.
“Bu. Saya lapar, ” keluh anak pertamanya.
“Bu. Saya ingin makan ayam goreng seperti di televisi,” keluh anak kedua.
“Bu. Teman-teman sering makan es krim.
Saya mau makan es krim, ” keluh anak ketiga. Bagaimana anak keempat dan
kelima? Mereka hanya bisa menangis karena terlalu kecil untuk mengeluh.
Sang Ibu tentu berusaha untuk menenangkan
hati anak-anaknya. Karena tak ada uang, Ibu merebus batu sembari
berharap anak-anak tertidur. Sesuai dugaan Ibu, anak-anaknya tertidur
karena lelah menunggu makanan. Ibu kembali bersedih menatap anak-anaknya
yang terus kelaparan. Berbekal tekad kuat. Disusullah sang suami.
Dengan wajah berang istri menemui suami.
“Ayah ayo pulang! Lihat anak-anak kita sudah berhari-hari tidak makan!”
Sayangnya Dia tidak perduli. Dia masih memperdulikan panggung. Istri
jadi kesal ditendang-tendangnya panggung itu. Lalu panggung
diserakkannya sampah-sampah hasil nafsu manusia. Dia marah lalu minta
cerai. Sang Istri menjadi menangis. Sesungukkan Istri meminta Dia untuk
rujuk dan pulang. Namun apa daya dia lebih memilih panggung yang dia
cintai. Diusirnya Istri jauh-jauh. Istri pun pulang dengan air mata yang
tak pernah berhenti.
Kini hanya tinggal Dia berdua dengan
panggung. Ditatapnya panggung dengan mesra. Dirayunya lah panggung itu.
Puas merayu lalu disetubuhinya dengan nikmat. Malam pun berlalu dengan
asmara ranjang paling konyol di muka bumi.
Pagi datang sesuai kodratnya. Dia membuka
mata. Dikuceknya matanya. Dia tertawa girang. Ternyata panggungnya
beranak menjadi dua. Dia lalu mencium mesra panggung sembari mengucapkan
syukur.
Tidak lama kemudian. Datanglah mobil ambulance
dari Rumah Sakit Jiwa. Petugas lalu memaksa dia berpisah dengan panggung
yang dia cintai. Namun petugas lebih kuat daripada dirinya. Dia lalu
dibawa lari oleh ambulance itu.
Hari-hari berlalu. Dia yang mencintai
panggung ternyata mengidap Scizopernia. Dia lalu berpesta pora dengan
panggung lainnya di rumah sakit jiwa. Sementara panggung nya dulu mati
suri. Lantai-lantainya pecah dipenuhi sampah-sampah. Penghuni panggung
itu berganti dengan anjing dan kucing yang aman dari Scizofernia.
Jambi, 2017
pertama kali diterbitkan di Genta FKIP pada 28 Agustus 2018 http://genta.fkip.unja.ac.id/2017/08/28/gila-gila-panggung/
pertama kali diterbitkan di Genta FKIP pada 28 Agustus 2018 http://genta.fkip.unja.ac.id/2017/08/28/gila-gila-panggung/
Komentar
Posting Komentar