Panggung Khimeira

Aku tidak mengerti kenapa kita harus terus bertarung satu dengan yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa kita tidak pernah ditakdirkan untuk hidup rukun? Apakah kita akan terus seperti ini? Sementara kita berasal dari leluhur yang sama. Sama-sama berasal dari manusia.

(gambar oleh Noveliza Febrieka sumber: gemulun.com)


Aku tidak pernah tahu bagaimana menyatukannnya. Semenjak penelitian pergabungan DNA manusia dan hewan terjadi beribu tahun yang lalu. Keadaan berubah menjadi buruk begitu cepat. Nenekku selalu berkata disetiap dongeng-dongeng yang selalu dituturkannya, bahwa manusia yang pertama melakukan pergabungan DNA hewan dan manusia memiliki tujuan untuk menyatukan dua dunia yang begitu berbeda jauh.  Kini ketika dua dunia menjadi satu dan membentuk kami – khimeira. Semula ada perdamaian diantara khimeira. Namun, sejak ilmuwan itu meninggal kami mulai mengambil jalan hidup kami masing-masing. Khimeira babi memilih untuk hidup sendirian di hutan belantara. Sedangkan khimeira burung memilih tinggal di pegunungan dan membangun perkampungan di atas gunung. Khimeira lumba-lumba memilih hidup di lautan yang begitu luas di kutub utara. Sementara itu, kami khimeira ular memilih hidup di padang pasir yang luas. Lama kelamaan kami beranak dan semakin banyak. Karena kami semakin banyak kami mulai membentuk batas wilayah masing-masing seperti sebuah negara. Sejak kami membentuk batas kami malah berperang. Siapapun yang melanggar batas wilayah layak untuk ditahan, disiksa, diperbudak atau dibunuh. Keadaan semakin buruk dengan meledaknya populasi kami.
Aku awalnya berpikir bahwa spesies khimeira selain kami para ular adalah khimeira yang jahat. Aku masih ingat dongeng-dongeng yang diucapkan kakek dan nenek kami bahwa khimeira jenis lainnya adalah khimeira yang tidak beradab, bar-bar, memakan sesama jenis mereka dan yang terpenting mereka tidak berpakaian. Mereka tak ubahnya sebuah hewan. Kata kakek dan nenek kami adalah ras yang unggul. Ras  yang memiliki banyak kelebihan dan tentu saja jauh lebih beradab. Sebagai bentuk peradaban kami, kami harus menembus batas-batas wilayah mereka dan “memanusiakan” kembali mereka. Kami diwajibkan kepercayaan kami untuk menuntun mereka ke arah yang lebih baik.
Maka tak jarang kami melakukan usaha pencaplokan wilayah khimeira lainnya. Tidak jarang pula kami membantai khimeira yang tidak menurut kepada ras kami. Semua ras diwajibkan patuh kepada hukum-hukum kami. Tidak lupa jenis betina yang menarik perhatian, kami jadikan mereka budak nafsu kami.
Namun semua hal itu berubah ketika aku bertemu dengannya pertama kali. Pertemuan itu sungguh membekas di ingatanku. Pertemuan itu seperti membuka pemikiran baru untukku. 
Waktu itu ketika penyerangan ke wilayah barat khimeira burung,  pesawat kami ketahuan tentara udara khimeira burung. Terjadi pertempuran hebat diantara kami. Sayangnya pasukan tentara udara khimeira burung lebih kuat. Kami kalah dan pesawat kami jatuh bebas ke laut.
Aku terbangun dan baru sadar aku sudah berada ditempat yang tidak kukenal. Samar-samar aku lihat bidadari  di depanku. Sepertinya dia adalah bidadari yang turun ke bumi sebagai perintah Tuhan untuk menyelamatkanku. Ketika kukucek lagi mataku, aku baru tahu bidadari itu adalah khimeira betina dari bangsa burung. Aku tidak mengerti kenapa betina ini menyelamatkanku. Apakah betina ini ingin mengambil keuntungan dariku dengan menjadikanku tawanan perang, apalagi aku adalah putra mahkota  di Kerajaan Ular?
Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan ini.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” kata khimeira burung betina itu mengejutkanku.
“Tidak. Aku tidak berpikir seperti itu,” bantahku.
“Kami khimeira burung memang membenci bentuk penjajahan yang dilakukan oleh ras kalian. Namun menurutku apabila kejahatan yang kau berikan ku balas dengan kejahatan itu tidak akan mengubah apapun. Dendam akan terus mengalir ke anak cucu kita. Hingga kenyataan sebenarnya menjadi kabur dan masing-masing merasa paling benar tanpa ingin mengalah,” jawab khimeira burung betina itu.
Di sebuah gubuk reot ini aku dirawat sendiri oleh khimeira burung betina itu. Sesekali beberapa khimeira betina lainnya membantu dia untuk menyembuhkanku. Belakangan aku baru tahu bahwa khimeira burung betina itu bernama Putri Sridahyang. Dia adalah putri mahkota kerajaan khimeira burung. Aku semakin keheranan dengan apa maksud sebenarnya dia melakukan itu. Kenapa seorang putri mahkota melakukannya? 
Setelah aku sembuh dari sakit. Aku diberikan sebuah perahu kecil dilengkapi beberapa perbekalan lainnya. Agar aku tidak diketahui oleh pihak militer dan kerajaan maka perahuku harus dimanipulasi menjadi sampah karena tidak ada cara lain untuk mengelabui militer. Menurutku ini jauh lebih baik daripada aku harus bernasib tragis disini.
“Maaf jika apa yang ku berikan tidak begitu pantas untukmu,” katanya lemah lembut.
“Tidak apa-apa, Putri,” jawabku.
Aku memaklumi kondisi ini. Setelah semuanya siap dan perahuku memang terihat seperti sampah yang tidak pantas diperdulikan. Aku lalu pulang menuju kerajaan.
Setelah sampai di istana aku kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Putri Sridahyang. Apa mungkin hal yang dikatakan dia ada benarnya? Lalu mengapa dia mau melakukannya? Apakah yang kami lakukan selama ini salah? Aku memikirkan ini setiap waktu dimasa pengistirahatanku di istana.
Sesaat aku memikirkan masalah ini, kerajaan terus melakukan penyerangan menuju ke Kerajaan Burung di utara. Aku dengar bahwa beberapa daerah di Kerajaan Burung sudah berhasil dikuasai militer kami. Aku menjadi was-was memikirkan kondisi Putri Sridahyang. Apakah dia baik-baik saja selama disana? 
Aku berusaha mengirimkan sebuah surat melalui mata-mata untuk mengetahui keadaan Putri Sridahyang. Aku harap surat itu bisa segera sampai ke tangannya. Aku ingin Ia segera membalas surat itu dan mengabarkan kembali kepadaku. Aku tahu ini adalah tindakan yang egois. Namun aku hanya ingin tahu Putri Sridahyang dalam keadaan baik-baik saja.
Beberapa minggu kemudian Putri Sridahyang membalas suratku. Dikatakannya bahwa dia baik-baik saja. Diterangkannya pula bahwa Kerajaan Khimeira Burung tidak menerima penyerangan ini. Akan terjadi serangan balasan. Dia memintaku untuk waspada.
Saling membalas surat ini membuatku bosan. Aku ingin bertemu dengan dia. Aku lalu mengatur pertemuan rahasia dengan Putri. Aku akui ini cukup rumit. Namun akhirnya pertemuan ini berhasil. Beberapa minggu sekali kami bertemu di sebuah pulau yang menjadi perbatasan antara dua kerajaan kami. Pulau ini sendiri memang ditelantarkan kerajaan kami. Dari sana aku merasa beruntung karena bisa saling melepas rindu walaupun hanya beberapa minggu atau sebulan sekali. 
Kurasa ada beberapa orang yang melihat tingkah anehku ini. Aku tiba-tiba menjadi biang gosip di lingkungan istana. Aku berusaha menepis semua gosip ini dengan mengatakan bahwa aku hanya ingin bertapa disana. Tapi tetap saja tidak ada yang percaya.
Pagi ini aku disidang oleh Raja karena gosip yang menyeruak dilingkungan istana.
"Apa benar kau melakukan hubungan dengan Khimeira Burung di Pulau Sarkostik?" tanya Raja.
"Itu bohong Raja. Hamba sama sekali tidak melakukannya," jawabku.
"Bawa saksi yang bisa memperkuat kebenaran apa yang  kau katakan!" titah Raja.
Aku lalu membawakan Kepala Desa dari pulau itu. Tentu saja aku menyuapnya agar berkata bohong. Dia selanjutnya menjelaskan kepada Raja bahwa aku hanya bertapa di hutan sana yang cukup lebat.
Raja mempercayai semua ucapan saksi palsu itu. Syukurlah. Desas desas itu memudar. Walau aku juga tidak begitu yakin.
Aku kembali rindu dengan Putri Sridahyang. Gosip-gosip yang ada di istana membuatku jenuh. Ingin kuhabiskan waktuku dengan dia sehari saja agar aku bebas dari penderitaan ini. Aku kembali mengatur pertemuan dengan Putri Sridahyang di Pulau Sarkostik melalui mata-mata kepercayaanku. Aku ingin sekali menyentuh dia dan mendapat kasih sayang penuh dari putri itu.
Di pulau itu aku melihat kekasihku tidak seperti biasanya. Tidak biasanya dia begitu murung ketika menemuiku. Aku memeluknya dan dia menangis di pelukanku. Begitu deras air mata yang keluar dari pipinya.
"Maafkan aku. Tolong maafkan aku," pintanya.
"Maaf untuk apa, sayang?" tanyaku keheranan.

Aku merasakan sesuatu yang tak enak. Insting ularku mengatakan bahwa ada orang lain yang mengawasi kami. Pelan-pelan aku melihat banyak mata keluar dari dalam semak. Tak hanya itu, aku mendengar desisan yang ada disana. Di langit tiba-tiba aku melihat sepasang burung terbang hilir mudik di atas kami. Sepertinya kami ketahuan oleh dua kerajaan.
Aku merutuki semua ini dalam hati. Apakah tidak mungkin dua makhluk yang berbeda dan bertentangan bisa menyatu? Apakah cinta kami begitu haram dimata kerajaan kami? Apakah mungkin tercipta kedamaian diantara dua kerajaan ini untuk kami?
Sementara aku dan dia menangis. Aku melihat langit menjadi mendung disertai petir yang begitu kuat. Tampaknya akan terjadi peperangan hebat dalam badai ganas ini.

Jambi, 9 April 2018

Cerpen oleh Febrianiko Satria
Pertama kali dimuat di Komunitas Gemulun https://gemulun.com/panggung-khimeira/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS4: Mencontek Di Sekolah (drama)

Naskah drama: Kasih Ibu

Cerpen: Mengejar Cinta Seorang Cowok