DUA DALAM SATU

karya: Febrianiko Satria

sumber gambar:  http://puan.co/2018/06/dua-dalam-satu/
Aku membuka mataku perlahan-lahan. Aku lihat ada sebuah sinar terang. Aku mencoba membuka mataku seluruhnya walaupun tu terasa sakit. Perlahan-lahan aku mencoba bangun. Namun aku terkejut, aku tidak mengenal tempat ini. Aku mencoba mengingat kembali kenapa aku sampai ditempat ini. Tidak, aku tidak bisa mengingat apapun. Disebelahku, ada seorang wanita bercadar yang memakai gamis yang cukup panjang berwarna pink dan rok panjang berwarna hitam. Cadarnya yang berwarna hitam  membuatku tidak bisa mengenali siapa wanita itu. Lagipula kenapa juga aku harus berada ditempat ini bersama wanita ini?
Pelan-pelan aku mencoba membangunkan wanita itu. Dia menolak manja ketika aku bangunkan. Aku mencoba membangunkannya terus. Tetapi sayangnya wanita itu terlalu terlelap dalam tidurnya.
“Daripada aku menunggu dia bangun. Sebaiknya aku mencari bagaimana cara keluar dari ini,” gumamku.
Aku lalu mencoba berdiri dan memeriksa ruangan itu. Ruangan ini hanya tersedia satu pintu. Tak ada jendela disini. Aku mencoba melihat ke atas. Aku menemukan sebuah saluran udara. Aku mencoba melihat ke sisi yang lain lagi. Disini ada sebuah penyedot debu, tempat sampah dan berbagai alat untuk bersih-bersih lainnya. Tampaknya aku sedang terjebak di sebuah gudang untuk menyimpan alat-alat kebersihan. Sudahlah aku tidak perlu memikirkan itu. Aku berjalan ke arah pintu. Aku mencoba memutar ganggang pintu itu. Celaka terkunci!
Aku mencoba memutar ganggangnya terus menerus. Ganggang ini benar-benar keras. Tidak bisa dibuka. Aku lalu mencoba mendobrak pintu itu dengan tubuhku. Satu dua tiga. Kucoba mendobrak pintu itu dengan tubuhku. Namun pintu itu terlalu keras. Aku mencoba kembali mendobraknya. Tetap saja tidak bisa. Tubuhku yang kurus tidak mungkin bisa membuka pintu yang terlalu keras itu.  Aku kesal. Aku tendang berkali-kali pintu itu. Namun percuma saja semua hal itu tidak mengubah apapun. Pintu itu tetap tak akan terbuka.
Aku putus asa dan terduduk dibelakang pintu itu. Aku ingin menangis tetapi aku tidak bisa mengeluarkan air mataku sedikitpun. Aku lihat wanita itu terbangun dari tidurnya. Dia lalu bangkit dan mencoba duduk. Dia mengucel matanya dan sepertinya terkejut melihat diriku.
“Kamu siapa? Kamu jangan-jangan mau memperkosaku ya? Ayo ngaku! Berani-beraninya kau melakukan hal itu kepadaku. Aku sudah milik orang lain!” teriak wanita bercadar itu.
 “Kau sudah gila, Ya? Tidak mungkin aku memperkosamu. Lihat baju gamis panjang itu masih sangat utuh. Apalagi cadarmu masih terpasang rapi diwajahmu. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati tubuh wanta tanpa melihat wajahnya?” bantahku pelan.
"Kau belum memperkosaku tapi kau pasti baru saja mau memperkosaku. Untung aku cepat bangun. Kalau tidak sudah habis tubuhku diapa-apain olehmu. Dasar mata jalang!" katanya memburuku.
"Memangnya wajahku ini wajah penjahat kelamin apa?" tanyaku.
"Iya," jawabnya.
"Astaga, padahal aku orang baik-baik lho," jawabku pasrah.
Dia menatap sekeliling. Dia terluhat keheranan. Dia tiba-tiba gusar sendiri.
"Ya Tuhan ini dimana. Aduh padahal hari ini keluargaku harus bertemu dengan keluarganya," ucapnya sedih. "Tolong lepaskan saya! Saya harus keluar dari sini!" teriaknya. "Tolong, tolong saya!" teriaknya kembali dia berusaha meminta tolong seperti anak kecil kehilangan mainannya. Tidak lama kemudian dia mulai menangis.
Aku tersentuh, Aku mencoba menghapus air matanya. Dia malah memarahiku. Dia lalu menjauhi diriku.
"Jangan sentuh-sentuh. Kita ini bukan muhrim!" bentaknya.
Aku hanya pasrah dengan penolakan itu. Hal ini wajar toh dia memakai gamis dan cadar yang menandakan dia pemeluk agama yang taat. Ah. sayang sekali. Padahal ketika menangis wajahnya terlihat manis.
Dia kembali menanyakan apakah aku akan melakukan hal buruk padanya. Aku kembali menjawab tidak. Tentu saja aku menjawab tidak. Dia kembali rewel seperti anak kecil. Aku terpaksa menunggu dia tenang.
Setelah dia tenang. Aku mulai mencoba menanyakan siapa dirinya.
"Namaku Halimah, Aku berasal jauh dari kota utara. Seingatku aku terakhir datang ke kota selatan untuk menemui keluarga calon suamiku. Aku sudah melakukan taaruf selama beberapa bulan ini. Rencananya hari ini kami mau melakukan lamaran," dia terdiam seketika. "Namun itu semua tidak mungkin terjadi jika Aku terkunci disini," rengeknya manja.
Aku mencoba menghibur sebisaku. Setelah dia terhibur dengan leluconku yang tidak lucu. Dia menanyakan asalku. Aku katakan bahwa namaku adalah Bujang. Aku katakan lagi bahwa aku tinggal di kota selatan. Aku sedang melakukan riset ke suatu rumah tua untuk artikel yang akan kuikutkan ke suatu lomba. Ketika mencapai rumah itu, aku sudah sampai disini.
“Apa tidak ada jalan keluar dari sini?” tanya Dia.
Mendengar pertanyaannya aku lalu menjawab bahwa tidak ada jalan keluar dari sini. Aku lalu menjelaskan berbagai upayaku. Mulai dari mencoba membuka ganggang pintu tetapi tidak bisa dan berusaha mendobraknya tetapi gagal. Dia sempat bertanya kenapa lelaki sepertiku tidak mampu mendobrak pintu. Kukatakan saja terus terang bahwa aku tidak sekuat itu. Dia hanya tertawa melihat kebodohanku.
“Apa tidak ada jalan lain selain lewat pintu itu?” tanya dia kembali.
“Tentu saja ada. Lewat saluran udara diatas. Sayangnya saluran udara itu terlalu tinggi. Apakah kau mau membantuku dengan cara aku menggendongmu dan kau membuka saluran udara itu?” pintaku.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak sudi disentuh oeh lelaki yang bukan muhrimku,” bantahnya.
“Ayolah untuk sekali ini saja,” pintaku.
Tidak mudah untuk membujuk Halimah untuk membantuku. Ada berbagai dogma yang dijadikan alasan agar aku tidak menyentuhnya. Aku harus membujuknya terus menerus. Setelah melalui berbagai penolakan manja akhirnya Halimah mau membantuku.
Kau tahu tidak mudah untuk menggendong wanita yang memakai pakaian tertutup serba panjang itu. Kau tidak mungkin menggendongnya di belakang bahumu. Kau tentu juga tidak mungkin menggendongnya agar dia duduk di bahumu karena tentu akan terhalang gamisnya yang panjang. Satu-satunya cara hanyalah dengan dia berdiri di pundakku. Untuk posisi ini tentu tubuh kurusku yang kasihan. Daripada tidak bisa keluar, apa boleh buat.
Aku jongkok dan Halimah mulai berdiri diatas bahuku. Pelan-pelan aku mulai berdiri. Untungnya tubuh Halimah begitu ringan. Halimah sedikit goyang lalu akhirnya stabil. Perlahan-lahan diperiksanya saluran udara diatas kami.
“Keras sekali,” keluh Dia.
“Coba periksa baik-baik,” jelasku.
“Sudah kucoba. Tetap saja keras. Tidak bisa dibuka sedikitpun,” keluhnya.
Aku menurunkan Halimah. Aku akhirnya pasrah dikurung didalam ruangan ini. Halimah tampaknya juga demikian. Dia tidak merengek lagi seperti tadi. Dari dua matanya yang hanya kulihat itu. Tampak bahwa matanya sudah tidak memikirkan rencana lamaran yang dia katakan sebelumnya. Dia hanya terduduk lesu menerima nasib apa adanya seperti diriku ini.
Kulihat Halimah mencari-cari sesuatu. Ternyata dia mencari tasnya. Dia membuka tasnya lalu meraba-raba seperti mengambil sesuatu. Tidak lama kemudian dia mengeluarkan tumpukan kertas gambar dan sebuah pensil. Setelah itu dia mulai menggambar sesuatu.
“Kau mau gambar apa?” tanyaku.
“Kepo,” balasnya.
Sepertinya dia tidak akan memberi tahuku apa yang akan dia gambar. Dia masih sibuk menggambarkan sesuatu dengan pensilnya itu. Tidak lama kemudian selesailah gambar sepasang pengantin. Lelaki memakai setelan jas dan peci seta jangutnya yang pendek. Perempuan memakai gamis yang panjang dan tidak lupa cadar yang menutup wajahnya. Di gambar tampak lelaki memeluk perempuan bercadar yang manja.
“Ini aku dan calon suamiku kelak,” ucapnya lalu memamekan gambarnya yang telah jadi itu kepadaku.
“Apa hanya lelaki berjenggot saja yang kamu suka?” tanyaku.
“Tentu tidak. Tentu aku memilih lelaki tampan seperti drama-drama korea. Tetapi aku telah melupakan hal itu ketika terakhir aku benar-benar jatuh cinta tetapi sayangnya mengecewakan,” jelasnya.
“Kalau boleh tahu kenapa sampai begitu?” tanyaku pelan-pelan.
“Aku tidak tahu alasan dia meninggalkanku. Lelaki terakhir yang kucintai itu adalah seorang penulis yang kukenal melalui dunia maya. Awalnya kami hanya berkenalan biasa hingga akhirnya kami mengerjakan sebuah proyek komik. Komik itu tidak jadi kami buat namun itu membuat kami merasa memilik hubungan hingga akhirnya kami memutuskan untuk pacaran. Sudah kubiarkan dia tinggal dalam hatiku selama setahun lamanya. Namun apa daya jarak yang begitu jauh membuatku penuh rasa curiga. Tidak jarang aku menuduhnya berselingkuh dengan wanita lain. Hingga akhirnya aku dan dia jarang menghubungi. Lama kelamaan dia seperti lupa denganku. Aku pernah mencoba menghubunginya namun yang menjawabnya adalah wanita lain dan wanita itu memarahiku. Sejak saat itu aku menjadi sakit hati. Aku begitu sedih karena dilupakan. Sejak saat itu aku menolak menerima lelaki lain. Aku menutup hatiku. Cukup lama aku berusaha melupakannya walau ujungnya gagal. Aku mencoba hijrah walau itu sulit hingga akhirnya diriku menjadi seperti itu,” jelasnya panjang lebar.
Ketika dia menjelaskan tentang lelaki pertama yang dicintainya. Perlahan-lahan aku mengingat seorang wanita yang begitu mencintaiku. Memang ada begitu banyak wanita yang mencintaiku karena tersentuh dengan puisi-puisi romantis yang kuberikan. Namun, wanita itu begitu beda. Dia begitu membekas dalam ingatanku.
“Sepertinya kau mengingatkanku juga pada wanita yang dulu kukenal lewat dunia maya. Dulu aku menyukainya karena begitu hebat kemampuannya dalam menggambar. Ketika melihat kemampuannya aku mengingat mimpiku untuk menjadi komikus. Aku menjalin hubungan dengannya. Namun sayang godaan dunia menulis memang beda. Aku dikelilingi banyak wanita yang menyukaiku karena puisi-puisiku sehingga aku sering lupa menghubunginya. Hingga akhirnya aku menjalani hubungan dengan wanita lain yang lebih baik darinya. Untuk itu aku terpaksa memutuskan hubunganku dengannya. Namun setelah beberapa bulan berlalu. Aku sadar bahwa aku melakukan kesalahan. Aku ingin meminta dia kembali padaku. Namun, karena aku begitu gengsi untuk mengatakannya. Aku hanya menyimpan kenangan itu sendirian,” jelasku.
“Apa ini kamu?’ tanya Halimah.
“Maafkan aku, Halimah,” jawabku pelan.
Mendengar hal itu Halimah tampak mundur. Dia sepertinya ingin mencoba menjauh dariku, “Maafkan aku...” mintaku pelan.
Halimah terlihat membuang nafas. Cadarnya bergoyang sedikit ke depan. Halimah lalu menutup mata dan mengelus dada, “Sudahlah. Itu semua hanya masa laluku. Engkau ku maafkan,” jawabnya.
Aku merasa lega mendengar ucapan itu. Namun, masih ada sedikit penyesalan karena apa yang kulakukan dulu. Seandainya aku tidak menjauhi dirinya waktu itu. Mungkin saja, saat ini dia yang berdandan cantik jauh lebih cantik ketika kukenal dulu menjadi milikku selamanya. Ya kau tahu penyesalan selalu datang terlambat.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari luar pintu. Sontak Aku dan Halimah kaget. Tawa itu semakin lama semakin keras. Aku dan Halimah semakin ketakutan. Entah siapa yang tertawa bengis itu. Aku menghayal apa yang akan dilakukan oleh orang dibalik pintu itu kepadaku.Atau mungkin dia ingin berniat jahat ke Halimah. Pikiranku semakin kacau.
“Bagaimana Halimah? Apa kau puas sudah menemukan orang yang selalu kau rindukan dalam mimpimu? Kau sering bercerita padaku bahwa kau selalu bertemu dengan seorang pria penulis dalam mimpimu. Aku yakin kau sangat mencintai pria itu meskipun kau kelak menjadi milikku,” ucap suara misterius itu. “Sekarang kau pasti sudah puas? Iya kan, Halimah?” bentak suara misterius itu.
“Sudahlah Rido. Sudah hentikan!” teriak Halimah.
Aku semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Pikiranku semakin kacau karena situasi ini. Tiba-tiba pintu itu dibuka. Dari pintu itu masuk seorang lelaki berbadan tegap dan berjenggot tebal. Lelaki itu memegang sebuah pistol. Pistol itu diarahkan ke diriku. Aku semakin panik. Adrenalin menguasai tubuhku.
Hal lain yang kuingat saat itu adalah janjiku. Janji yang pernah kuucapkan kepada Halimah dulu. Mungkin dia sudah lama melupakannya. Meskipun dia sudah melupakannya, saat ini aku harus menepati janjiku itu. Terserah dia menerima atau tidak janji itu.
Pistol itu belum sempat meletuskan pelurunya. Salah satu diantara kami ada yang terjatuh ke tanah. Ada sedikit noda darah jatuh ke lantai. Tenang itu hanya sedikit luka dari wajah kami yang lebam hasil kami adu kekuatan tinju. Kulihat Halimah menangis melihat pertengkaran dua manusia ini. Tingkah kami yang cukup bodoh seperti anak kecil yang berebut mainan yang baru saja diberikan kedua orang tua mereka.
Ah seandainya aku tidak melupakan wanita yang kurindukan setiap harinya itu. Saat ini aku teringat kembali sebuah puisi tua dari Chairil Anwar judulnya Cintaku Jauh Dipulau. Ah aku tidak mau menuruti nasehat penyair tua yang jomblo itu. Siapa juga yang mau berpisah dari kekasih hati?

Jambi, 28 November 2017

Pertama kali diterbitkan di Puan.co pada 3 Juni 2018  http://puan.co/2018/06/dua-dalam-satu/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RS4: Mencontek Di Sekolah (drama)

Naskah drama: Kasih Ibu

Cerpen: Mengejar Cinta Seorang Cowok